Minggu, 14 Juni 2009

Wandha setiawan

by Dheden maulana

2. Wandha setiawan

Pagi itu dia berjalan dengan siraman embun pagi. Setelah menunaikan ibadah subuh hari, menyempatkan diri untuk sedikit berzikir, pada subuh hari seperti itu dia harus menatap hari dengan optimis, menyelesaikan semua ikhtiarnya. Sebelum beranjak dari tempatnya sujud dibukanya kembali diary, tempat menuangkan semua langkah hari dan juga setiap keluh kesahnya dalam setiap jengkal perpindahan matahari. Lembar demi lembarpun dia selami. setelah beberapa saat, dia meraih pena yang tergeletak miring dalam sebuah gelas bekas minuman ringan. Mulain menggoyangkannya, membuat pena itu menari seperti menodai kejernihan kertas putih. Pena itu terus bergoyang bagai seorang penari dari gurun yang membawakan goyangan perut.
Beberapa saat kemudian lembar demi lembar telah penuh dengan goresan tinta. Seberkas senyum mengalir pelan menyusuri lembar-lembar pembulu darahnya. Menyusup sampai keotak dan mulai menampakan diri di wajahnya yang klimis. senyum itu menundukan rasa galau yang selama ini menjadi pengganjal setiap langkahnya yang selalu terlihat gontai dengan tatapan mata yang terasa sayu, getir kehidupaan yang terlihat dari setiap ikhtiarnya menandakan setiap usahanya selalu di kerjakan dengan hati yang ikhlas.
Gerimis pagi ini terlihat menyayat. Lembab, basah, kepiluan terlihat dari setiap relung yang lembah-lembah yang bersiap untuk membawa sisa-sisa air untuk di tampung di kantung-kantung air, pelangi terlihat diujung sana, menjilati sudut alam dari bukit yang yang nampak canggung menerima keindahan. Malu dengan keinginan untuk memuja. Puluhan tahun lalu lembah itu membawa petaka bagi masyarakat yang ada di lereng bukit itu. Puluhan jiwa menjadi manusia yang tidak mampu lagi beristigfar dan tidak mampu lagi untuk menatap indahnya mentari pagi esok. Puluhan rumah terkapar dengan muka bumi, terlentang dan telungkup di atas bumi. Kerugian yang menimpa buka karena langit yang terlalu sedih sehingga menumpahkan air mata yang terlalu banyak, bukan pula karena bumi yang terlalu lemah dan dan sedang berganti kulit. Tapi karena bumi sedang menyesuaikan diri, mengabulkan permintaan langit sebagai kekasih yang tidak pernah layu dan lelah menaunginnya dengan senyum yang terpancar dari setiap inci sinar mentari.
Untuk sesaat mentari menatap berbagai macam lembaran kehidupan yang akan disinarinya, telah dikenalinya lembaran mana yang tidak akan mendapatkan sinarnya. Mega mulai membumbung tinggi, melayangkan senyum menggoda dengan bibir yang masih basah setelah mengecup dahan, daun dan rerumputan dan semua yang sempat teraba olehnya di muka bumi untuk melepaskan kristal-kristal cairan suci.
Pun pagi itu mentari menampakan diri dengan senyum tanpa dibuat-buat. Napasnya terasa sangat menyejukan. Percik-percik persembahan dari langit menunjukan kuasa yang tak terkira dari ujung yang tak terlihat di sana. Pun lelaki itu nampak menyongsong mentari, gerimis masih membasahi lorong-lorong yang menjadi arahnya untuk menghapus kegalauan. Dia melirik sejenak titik hujan yang terus menghujam bumi, walau tidak terlalu deras tapi itu cukup untuk membuatnya basah kuyup karena jarak menuju kampusnya cukup jauh.

bersambung ke (3. Marlah....)

Wandha Setiawan





Pagi itu dia berjalan dengan siraman embun pagi. Setelah menunaikan ibadah subuh hari, menyempatkan diri untuk sedikit berzikir, pada subuh hari seperti itu dia harus menatap hari dengan optimis, menyelesaikan semua ikhtiarnya. Sebelum beranjak dari tempatnya sujud dibukanya kembali diary, tempat menuangkan semua langkah hari dan juga setiap keluh kesahnya dalam setiap jengkal perpindahan matahari. Lembar demi lembarpun dia selami. setelah beberapa saat, dia meraih pena yang tergeletak miring dalam sebuah gelas bekas minuman ringan. Mulain menggoyangkannya, membuat pena itu menari seperti menodai kejernihan kertas putih. Pena itu terus bergoyang bagai seorang penari dari gurun yang membawakan goyangan perut.
Beberapa saat kemudian lembar demi lembar telah penuh dengan goresan tinta. Seberkas senyum mengalir pelan menyusuri lembar-lembar pembulu darahnya. Menyusup sampai keotak dan mulai menampakan diri di wajahnya yang klimis. senyum itu menundukan rasa galau yang selama ini menjadi pengganjal setiap langkahnya yang selalu terlihat gontai dengan tatapan mata yang terasa sayu, getir kehidupaan yang terlihat dari setiap ikhtiarnya menandakan setiap usahanya selalu di kerjakan dengan hati yang ikhlas.
Gerimis pagi ini terlihat menyayat. Lembab, basah, kepiluan terlihat dari setiap relung yang lembah-lembah yang bersiap untuk membawa sisa-sisa air untuk di tampung di kantung-kantung air, pelangi terlihat diujung sana, menjilati sudut alam dari bukit yang yang nampak canggung menerima keindahan. Malu dengan keinginan untuk memuja. Puluhan tahun lalu lembah itu membawa petaka bagi masyarakat yang ada di lereng bukit itu. Puluhan jiwa menjadi manusia yang tidak mampu lagi beristigfar dan tidak mampu lagi untuk menatap indahnya mentari pagi esok. Puluhan rumah terkapar dengan muka bumi, terlentang dan telungkup di atas bumi. Kerugian yang menimpa buka karena langit yang terlalu sedih sehingga menumpahkan air mata yang terlalu banyak, bukan pula karena bumi yang terlalu lemah dan dan sedang berganti kulit. Tapi karena bumi sedang menyesuaikan diri, mengabulkan permintaan langit sebagai kekasih yang tidak pernah layu dan lelah menaunginnya dengan senyum yang terpancar dari setiap inci sinar mentari.
Untuk sesaat mentari menatap berbagai macam lembaran kehidupan yang akan disinarinya, telah dikenalinya lembaran mana yang tidak akan mendapatkan sinarnya. Mega mulai membumbung tinggi, melayangkan senyum menggoda dengan bibir yang masih basah setelah mengecup dahan, daun dan rerumputan dan semua yang sempat teraba olehnya di muka bumi untuk melepaskan kristal-kristal cairan suci.
Pun pagi itu mentari menampakan diri dengan senyum tanpa dibuat-buat. Napasnya terasa sangat menyejukan. Percik-percik persembahan dari langit menunjukan kuasa yang tak terkira dari ujung yang tak terlihat di sana. Pun lelaki itu nampak menyongsong mentari, gerimis masih membasahi lorong-lorong yang menjadi arahnya untuk menghapus kegalauan. Dia melirik sejenak titik hujan yang terus menghujam bumi, walau tidak terlalu deras tapi itu cukup untuk membuatnya basah kuyup karena jarak menuju kampusnya cukup jauh.

Purnama 13 jam

1. Purnama 13 jam



By : dheden Maulana



Tatapannya nanar seolah kosong dan hampa, naluri indah dari pandangan yang menjadi idaman bagi kaum Difabel telah menjadi temannya menapaki waktu. keadaannya telah berubah dalam waktu yang sangat singkat. dia selalu menundukan wajahnya, seolah rangakaian topeng baja telah membuat wajahnya begitu berat terangkat. Mungkinkah ada yang telah menjadi tabir, mengharuskannya menjaga pandangan, Memelihara bias pupil matanya.

Akankah mungkin para gadis yang selalu berpapasan dengannya memandangnya curiga kala dia menatap mereka. tidak mau menerka kenapa Kesucian Gadis jelita seolah diciptakan Tuhan sebagaai pelengkap sekaligus makhluk yang akan menjerumuskan ke lubang tanpa dasar. dari seberkas cahaya Keelokannya dari suddut rusuk Adam kaum ini tercipta. Karakter wanita Wanita tidak pernah bisa di lukiskan dengan kata-kata. Hiddupnya berteman baris-baris kata-kata ilmiyah, wajahnya tidak terlalu klimis tanpa memelihara sebagian kecil sunah rasulnya. Sebaris Kumisnya halus menghiasi kelopak bibirnya. Tapi rambut halus itu tidak pernah tampak mengubah postur wajahnya yang terpahat indah.

Persaannya membuncah, tapi kenyataan pahit sedang dia alami. Beberapa hari terakhir ini dia nampak berubah, lebih senang berjalan sendiri dan memisahkan diri dari temen-temannya. Termasuk aku yang telah menganggap dia sebagai saudara. Tapi dia lebih senang menyendiri dan tidak mau bersosialisasi. Berteman diary birunya dia melangkah meninggalkan aku yang datang menghampirinya, mencoba mengobati dan membasuh luka yang sedang dia alami.

* * *

Seandainya balasan amalnya seelok dirinya

Dihari disaat dihisab dan dibangkitkan manusia

Niscaya akulah hamba yang ,paling bahagia

Maka akan kuraih surga, dekat dengan bidadari tercinta.

Ditutupnya kembali diary kecil itu lalu dengan ringan dia memasang gembok tembaga sebagai deringan terakhir, diary yang akan menjaga betapa sangat pribadinya goresan-goresan cairan hitam yang menjadi lambang privasinya. Suara resleting ditarik untuk membuka kantong kecil terluar ranselnya menggerek datar. Pun-tersisip rapi Ludahan penanya, terjepit gembok. Dia beranjak ke tempat tidur dengan tangan melambai rak meja suddut meja untuk meraih lembaran-lembaran yang terangkum menjadi sebuah lampiran bersampul biru. Dengan pelan dia menindih kasur tanpa seprai.

Surya telah lama memejamkan matanya, berselimut angin dan embun sunyi malam. Indahnya kunang-kunang yang tak tergapai memancar dengan kelipan nakal, kadang muncul menggoda menawarkan kebersamaan, kadang hilang untuk menandai kata menyerah, seolah sedang bermain petak umpet dengan detik-detik yang tidak pernah mampu berputar kembali walau hanya sedetik.

Dia telah pergi menjelajah alam mimpinya, menapaki naluri-naluri yang tidak mampu dikendalikan oleh sensor lahiriahnya, seperti pada saat dia terkaget dan melepaskan tangannya saat merasakan bara atau lari bernaung kala terik membahana fatamorgana. Hanya kucuran keringat dan nafas yang terengah-engah yang didapat saat sadar dari haru-biru, dia berlari dalam bunga tidurnya.

* * *

Malam semakin beranjak keperaduan. dengan jubah hitamnya yang terus menatap langkah-langkah jarum jam, dari detik yang satu kedetik berikutnya, dingin dan kencangnya hembusan angin berteman gerimis hujan. Keadaan ini terasa dalam sebuah rumah kost wanita yang ada di dekat sebuah mesjid dengan jarak kurang lebih seratus meter di sebelah kanan. Rumah kost tersebut berada di depan jalan yang mengarah ke utara dan berhubungan langsung dengan jalan menuju kampus hijau di kota angin Mammiri ini.

Seorang gadis tampak serius memainkan jarinya di atas pelepah keyboard, lincah meloncat dari satu huruf ke huruf yang lain, sesekali tangannya meraba mouse yang ada diselah kanan. Mimik wajahnya nampak kaku, terasa sekali dia sangat menghayati setiap kata dan kalimat yang muncul di layar monitornya. Kadang sesekali menggigit bibirnya, menyembulah lesung pipi yang terpasang rapi tanpa cacat. Hidungnya mancung, bulu matanya lentik, sinar lampu yang sedikit redup tidak mampu menutupi putih mulus wajahnya, seolah ada cahaya lebut yang memancar dari dalam.

Kedua belah pipinya nampak merona merah, bola matanya yang biru bagai gadis-gadis Persia mulai terasa panas dan perih tapi nalurinya untuk menyelesaikan pekerjaan memebuatnya mengacuhkan semua itu. Jarum jam sudah menunjukan pukul 01:22 dini hari, dari samping kamarnya terdengar seorang melangkah dan menggeser papan pintu, keluar dan melangkah kearah kamarnya. Hal itu sedikit membuat merinding, dan menjadikan bulu–bulu kuduk berdiri. Namun itu sudah biasa, hampir tiap malam suasana itu menjadi santapannya, kala indera pendengarann masih peka. Langkah-langkah kaki itu memang sudah tidak asing baginya. kadang dia yang harus berada di situ dan berjalan kesamping kamarnya. Mengetok pintu serta menyalib mimpi indah teman-teman sekostnya untuk melaksanakan sholat malam.

”Kak Nia. . . !”

”Iya . . . saya belum tidur, nanti saja . . . , saya mau selesaikan ketikanku dulu . . .!

”Kak bisa bukain pintunya dulu sebentar!” desah suara yang ternyata adalah seorang perempuan dari depan pintu. ”saya tahu kakak belum tidur, dan itu sebabnya saya ke kamar kakak ada yang ingin saya bicarakan!” lanjut Marlah kelu.

”Ada apa dek . . . ? saya lagi sibuk nih besok pagi saja!” jawab Nia tanpa beranjak dari tempat duduknya. Sambil melirik angka yang ada di sudut kanan layar monitor komputerrnya.

”Sudah pukul 01:24 dini hari”. Batinnya

”Ini penting sekali, plis . . !” pinta Marlah lagi.

”Hm . . . . , iya sebentar!” jawab Nia dari dalam sambil beranjak dari tempatnya bersandar sejak sore. Dengan gaun berwarna biru tua polos membaluti tubuh, mulai pangkal leher sampai mata kaki. Rambut hitam disanggul rapi. Kepala yang berisi ide-ide cemerlang tersembunyi dari dalamnya. Nia itulah nama yang popular di kalangan teman-teman kostnya, tapi kadang ada temannya yang memanggil dengan Nuku atau Kurnia namun hal itu tidak menjadi masalah baginya sebab nama-nama yang dipakai oleh teman-temannya merupakan bagian dari namanya. Nama yang di tukar dengan sebatang nyawa seekor kambing.

Pelan Nia melangkah kearah papan pintu, disibaknya tirai yang penutup, dentingan batang-batang aluminium membangunkan malam. Ditariknya engsel dan diputarnya kunci yang masih berada dalam sarangnya sampai terdengar dua kali kretakan. Dengan pelan Nia menariknya, terlihat wajah yang sangat lusuh dan rambut yang terlihat awut-awutan dan berantakan, walau sedikit gelap tapi Nia mampu melihat bekas-bekas tangisan di kelopak mata perempuan itu. Tak pelak, setelah pintu terbuka, perempuan itu langsung menjatuhkan tubuhnya kedalam pelukan Nia.

“Kak . . . . , tolong saya, sekarang saya sedang menghadapi musibah besar, kelangsungan masa depan saya akan menjadi taruhannya, tolong saya kak . . !”

“Tenang dulu, jangan terlalu cepat memutuskan sesuatu yang belum terang. tolong jelaskan apa masalahmu”! Lembut Nia membelai kepala Marlah.

cegukan Marlah semakin meninggi membuat Nia sampai ikut merasakan getaran dari guncangan tubuhnya. Diam dengan air mata meleleh terus berlanjut sampai lima belas menit kemudian. Nia terus menenangkannya dengan terus memberikan semangat dan belaian. belaian kasih sayang seorang kakak pada adiknya. Seorang kakak yang sejak pertama menginjakan kaki di rumah itu. harus menjadi penghuni tunggal selama enam setengah bulan. Itu terjadi waktu tahun pertama dia menginjakan kaki di kampus hijau dan pertama kali menyandang gelar mahasiswi. Kehidupannya yang sering mengalami pasang surut karena orang tuangnya sangat menggantungkan kehidupannya dari kondisi musim yang selalu berganti.

”Kamu tenangkan dulu dirimu baru kamu ceritakan apa sebenarnya yang terjadi”. Ucap Nia menatap mata yang sudah sembab dan memerah dalam remangan lampu tidur. Dipenggangnya pundak gadis sembilan belas tahun di hadapannya dan dengan sangat halus dia mengusapkan air mata itu dengan telapak tangannya. setelah cegukan kesedihan mulai mereda Nia menyodorkan segelas air putih.

”Kamu minum saja dulu agar kamu sedikit tenang” Nia duduk disamping kanan teman sekost yang sudah menganggapnya sebagai kakaknya dan mencoba untuk menyimak cerita yang akan dipaparkan Marlah.

”Kak apa yang harus saya lakukan sekarang. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa, semua sudah tidak berguna. kepercayaan orang tuaku telah saya khianati. Terlalu besar kesalahan yang telah saya perbuat. Lebih baik saya mati saja kak” tangisan Marlah kembali membuncah, walau tak sehisteris seorang anak yang kehilangan ibunya. Tapi cukup membuat hati Nia tersayat.

”Iya saya paham. Tapi saya belum mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi sehingga kamu sangat sedih dan merasa sangat bersalah pada orang tuamu?” ucap Nia pelan.

”Kak saya tidak berani mengatakannya karena ini aib yang sangat besar”

”Katakan apa masalahmu sekarang, mungkin saya bisa membantu meringankan beban yang sedang kamu emban”

Rembulan yang terus mengintip dari celah awan mengawasi tingkah dua anak manusia. berpelukan, mengusap air mata. Dan saling menunggu pagi kembali seperti pagi tadi.

Dari sela tangisannya Marlah merogoh saku piamannya, agak lama dan keraguan menyelimuti hatinya, antara ingin berterus terang dan khawatir aib itu akan menyebar kesemua telinga teman-teman sekampusnya. Lama–kelamaan telapak tangan yang tersembunyi dalam kepalan yang sangat erat mmenyembul kepermukaan.

”Kak Nia saya sangat berharap ini hanya antara kakak dengan saya, saya sangat berharap tidak ada yang tahu selain kita berdua”. Ucapnya dalam sendu.

”Insya Allah Saya akan mengusahakan semapu saya”. Dengan sangat pelan mata Nia melirik ke arah telapak tangan marlah yang sedikit demi sedikit mulai merekah. Tampak seonggok alat yang masih asing baginya, tapi dia tahu alat apa yang tergeletak di telapak tangan Marlah.

”Untuk apa alat itu?” tanya Nia sambil mengerutkan dahi, matanya terus mengamati benda tersebut tanpa berani menyentuhnya”.

”Saya tidak sadar, saya khilaf kak” walau air matanya telah mengering Marlah masih belum mampu menahan kegelisahannya. ”Sudah dua bulan setengah saya telat kak, saya sangat khawatir, lalu saya memberanikan diri untuk mengeceknya sendiri dengan alat ini” tambah Marlah sambil sedikit mengangkat benda yang berbentuk kertas ditangan kanannya

”Lalu hasilnya bagaimana?”

”Positif”

”Pekikan Kaget Nia membuatnya terlonjak sampai tempat tidurnya bergoyang pindah beberapa sentimeter. Dengan menutp mulutnya Nia menatap Marlah tak berkedip. Marlah menunduk lesu, dia pasrah, dengan semua yang dia alami.

”Kamu hamil, apa yang kamu pikirkan sehingga kamu melakukan dosa sebesar itu, teriak Nia pelan!”

”Saya khilaf”

Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, antara kebimbangan dan rasa bersalah yang telah memenuhi seluruh aliran darah dan rasa kaget yang membuatnya gemetar dan tak mampu megeluarkan kata-kata. Cukup lama saling terdiam Nia memeluk Marlah dan membelai punggungnya.

”Sabar ya, semua masalah ada jalan keluarnya”. Ucapnya pelan memberikan semangat. Gadis yang ada dalam pelukannya hanya mengangguk bisu.

Dari celah atap menyelinap cahaya redup rembulan, tiga belas jam sudah dia bersinar, menampakan diri dan kadang bersembunyi di balik rimbunan awan yang beriringan, berbaris menyongsong ruang tak bersudut. Satwa malam berkicau menarik perhatian para betinanya, melolong mesra, menjalani hidup yang telah digariskan dan akan menerima takdir sebagai makhluk yang mendampingi manusia. Tapi di negara bagian eropa barat saat sekarang matahari sedang terik membakar bumi mereka. Sekilas itu tidak pernah dirasakan oleh manusia, yang kanya mementingkan semua keinginannya untuk bisa hidup tanpa memperdulikan bahwa makhluk di sekitarnyapun berhak mendapatkan kehidupan. Keegoisan telah meracuni jutaan hati, membinasakan rasa untuk saling melindungi. Mirip Singa-singa jantan yang tidak pernah mengenali anak-anaknya sendiri. Memperebutkan area kekuasaan demi mempertahankan hidup.

Suara motor yang lalu-lalang masih terdengar walau hanya sekali-sekali. Posisi rumah kost mereka memungkinkan itu. tawa dan petikan gitar dari mahasiswa yang masih terjaga, menghabiskan malam dengan bernyanyi dan bergembira. Asap tembakau tidak pernah selalu menemani. Kadang botol-botol alkohol terlihat saat pagi menjelang. Mungkin mereka tidak sempat menyembunyikannya karena terlampau banyak meneguk minuman nista itu. Masyarakat sekitar itu merasa resah melihat perigai mereka tapi semakin dikerasi mereka malah menjadi-jadi. Sungguh perigai pemuda-pemuda kota yang sangat menjerumuskan. Pun Nia dan Marlah adalah sekian mahasiswi yang sering mendengar siulan nakal dari mereka. Memanggil namanya dan berusaha berulah untuk menarik perhatian.

Nia berusaha besikap dan berbesar hati melihat perigai pemuda-pemuda itu. berdoa semoga lentera yang ada dalam setiap qalbu mereka segera menyala dan mengarahkan mereka ke jalan yang lurus.


(bersambung......... ke wandha setiawan)